Rasa

Sabtu, 22 Februari 2014
Karena kita menghadirkan rasa
Kicauan burung seakan membuatku menari, walau ku tahu hari ini semua telah berbeda. Orang yang selalu menjadi alasan ku untuk tersenyum kini telah menghilang dari warna-warni kehidupanku. Aku layaknya seekor burung yang terpisah di antara ribuan burung lainnya, mencoba bertahan dalam ketidak-pahaman dunia yang fana ini. Seakan tak bernyawa, aku memulai hidup ku tanpa kehangatan pelukannya, senyumannya, dan tanpa suaranya yang selalu membuatku tersenyum saat aku tak menginginkan tersenyum sekalipun. Ternyata rasa adalah suatu hal yang membuatku seolah-oleh menjadi rintik hujan di antara matahari, membuatku seperti setangkai mawar yang mulai layu dan menghitam, menjadikan hatiku hancur hingga berkeping-keping tanpa penjelasan.
Hari pertama kulalui tanpa semangat yang berarti, langkah kaki kecil ku pun seakan tak mampu lagi untuk berpijak. Langkah demi langkah ku jalani tanpa senyuman, walau mentari mengajak ku untuk menari namun aku tetap dengan paras wajah ku yang tak bertuan, oh Tuhan.. apa ini rasanya kehilangan?. “Ra.. Rara!!” suara itu terdengar jelas di telinga ku, namun aku acuhkan. Aku benci suara itu. “Rara! Masih mau menghindar dari aku?” suara yang ku benci itu kian mendekat hingga aku merasakan sentuhan lembut tangannya menyentuh ku, aku berusaha untuk tidak melihatnya. Bahkan sekedar menoleh ke hadapannya pun aku segan. “Maaf, aku tak bermaksud untuk menghindar. Aku butuh waktu untuk sendiri, mengertilah!” langkah ku semakin cepat meninggalkan dia dan menjauh darinya. sungguh teramat sungguh, aku tak mampu melihatnya di hadapanku begitu sesak dada ini melihatnya. Tanpa ku perdulikan lagi, aku pun membiarkan kaki ku mengajak untuk menjauhinya walau ku tahu, keputusan yang telah ku ambil ini membuat dia kecewa, tapi.. sudahlah, aku yakin ini yang terbaik. Hari demi hari semakin tak bergairah, aku mulai merasakan kejenuhan yang teramat mendalam dengan keadaan seperti ini, bagaimana tidak?.. Hari demi hari seakan begitu cepat, tanpa ku lalui lagi bersama orang itu. Walaupun ku tahu aku yang telah memutuskan untuk tak bersamanya lagi, namun kini aku menyadari bahwa aku merindukannya. Aku merindukan hadirnya, senyumnya, tawanya, candanya bahkan tangisan manjanya saat bersama ku dulu.
Malam menjadi lebih dingin semenjak hari itu, cuaca siang bahkan lebih panas dari biasanya, dan pagi semakin sunyi tanpa kicauan burung yang menemani. Ku hirup aroma kopi di cangkir merah jambu ku ini, di antara rintik hujan malam ini aku semakin merindukannya. Tiba-tiba handphone ku bergetar, ku lirik handphone ku dan ku dapati nama itu yang menghiasi layar handphone mungil berawarna merah ini. “Rara, aku merindukanmu.. aku butuh kamu disini, apa kamu juga merasakan apa yang ku rasakan? Bales dong, Ra. Sisihin waktu kamu sebentar buat bales sms aku ini. Aku sayang kamu.” Ingin sekali aku membalasnya, namun apa daya tangan tak sampai.. aku masih membisu membacanya, “Aku juga merindukanmu, aku mencintaimu lebih dari yang kamu tau, Dam…” aku hanya mampu membalas pesan singkatnya dalam hati, berharap dia mampu mendengar apa yang ku ucapkan tadi. Tekad ku masih kuat, aku akan terus menjaga jarak dengan orang ini mungkin perlahan aku akan pergi dari kehidupannya.
Puluhan pesan singkat datang darinya tanpa satu balasan pun yang aku berikan, entahlah.. mungkin dia lebih kerasa dari batu karang hingga apapun yang ku lakukan padanya, dia tetap tak menghiraukannya dan tetap mencoba mendekatiku. Aku yakin dia masih menjadi salah satu orang yang dapat ku perjuangkan, tapi di balik itu semua aku masih menyimpan banyak rasa kecewa yang teramat mendalam padanya, aku ingin menghapusnya namun tetap tak bisa. Semua usaha yang dia tunjukan padaku tetap tak akan merubah keputusanku, aku menjahuinya.
“Apapun itu, setiap rasa yang menyakitkan, tak akan mampu membuat rasa yang menyenangkan seperti dulu..”
Cerpen Karangan: Syahrima
Blog: http://syyahrima.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar