Bagian 10
Album Biru
Butiran debu itu membuat album foto ini terlihat usang bersama tumpukan barang tak berguna lain digudang belakang. entah, berapa tahun silam album biru ini terakhir dibuka. Kutiup perlahan debu sampul album ini.Halaman pertama, ada foto 2 sejoli yang mengenakan baju akad nikah. Ayah yang mengenakan jas hitam tarlihat begitu gagah memeluk ibuku yang berkebaya putih begitu cantik. 2 sejoli yang berikrar untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Halaman kedua. Seorang bayi perempuan telah hadir dan melengkapi kebahagian mereka. Seorang bayi yang cantik itu tersenyum dipangkuan ayah dan ibunya yang begitu menyayanginya sebagai buah hati pertama mereka. Itu aku.
Halaman ketiga. Gadis itu tumbuh dengan sehat. Pagi sekali ia mengenakan seragam merah putihnya untuk yang pertama. Bersama ayahnya yang mengenakan kemeja biru dan bersiap ke kantor.
Halaman keempat. Gadis itu menyuapi ayah dan ibunya kue pertama yang ia potong diulang tahunnya yang ke-7.
Halaman kelima. Gadis itu duduk menikmati senja bersama ayah ibu yang dikasihinya. Duduk dan tersenyum pada langit senja yang menjadi favorit mereka.
Halaman keenam. Seorang bayi jelita kembali melengkapi hari-hari mereka. Dwi Ayu Teguh Pambudi. Balita yang berbadan gemuk itu menjadikan tawa pada hari-hari mereka kini.
Halaman terakhir. Ada ayah, ada ibu, ada adikku. Dan ada aku. Seorang gadis yang masih kecil yang belum tahu apa itu kehidupan. Yang kutahu saat itu, aku bahagia. Kami tersenyum didepan sebuah kamera yang mengabadikan kebersamaan kami.
Gambar itu membuatku hanyut pada kebahagiaan masa lalu. dan kini hanya tinggal sebuah kenangan yang tersimpul pada album yang kini berada dipangkuanku. Pertengkaran yang pagi itu terjadi dirumah kami, belum membuatku mampu berfikir bahwa ini akan terjadi. Perceraian 6 tahun lalu membuatku harus menerima semua kenyataan bahwa inilah keluargaku sekarang.
Kepergian ayah yang membuatku harus menangis merindunya, membuatku harus berlari mengejar sebuah mobil yang begitu cepat melaju pagi itu. Pergi, meninggalkan kami. Aku belum tahu. Aku belum mengerti ketika itu. Yang kutahu aku hanya berteriak memanggil ayahku, berlari dan mengejar mobil yang meninggalkan halaman depan rumah kami. Begitu bodohnya aku. Aku tak sekuat itu untuk berlari. Untuk terus mengejar, aku lelah. Aku terjatuh. Ibu yang menyeretku membuatku semakin jauh mengikuti mobil itu.
Beberapa hari belakangan sepergian ayahku, aku marah. Tanpa melakukan apapun. Yang kumau saat itu, aku ingin bertemu ayah. Ibu yang terus memarahiku dan memintaku untuk melupakan ayah membuatku semakin marah.
Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Aku tak peduli aku sakit, yang kumau aku bertemu ayah. Ibu tak lagi memarahiku. Perlahan ia memelukku. Wanita itu menangis.
“ibuk…” panggilku perlahan melihat ibuku menagis dan memelukku.
“Kamu kangen ya sama ayah?”
“Iya buk. Ayah kemana? Avi pengen ketemu ayah buk” aku tak dapat menahan tangisku yang mulai pecah karena aku benar-benar merindukan ayahku.
“Ayah harus pergi nak”
“Kemana? Kenapa nggak pamit sama Avi? Ayah jahat”
“Ayah nggak jahat. Ayah buru-buru. Ibuk juga kangen kok sama ayah, sama kayak Avi”
“Ayo cari ayah buk, Avi mau ketemu ayah”
“Ayah lagi sibuk sayang. Ayah pasti juga kangen banget sama Avi. Sama Ayu.”
“Sama ibuk juga kan?”
“Iya sayang. Ayah pasti juga kangen banget sama kita.”
“Kapan ayah pulang buk?”
“Kalau ayah udah selesai ngerjain tugasnya, ayah pasti pulang.”
“Kapan buk?”
“Ibuk nggak tahu sayang. Avi nggak boleh ganggu ayah. Ayah baru ngerjain tugasnya. Ayah sibuk”
“Tapi Avi kangen buk sama ayah.”
“kan ada ibuk..” kata ibuku yang masih terus menangis dan tersenyum padaku.
“Tapi Avi maunya ayah buk”
“Avi. Avi nggak sayang ya sama ayah, sama ibuk?”
“Sayang buk. Avi itu sayang banget sama ibuk sama ayah”
“Kalau Avi sayang, Avi nggak boleh nakal. Biarin ayah kerja dulu. Sekarang Avi sama ibuk, sama adek. Ya?”
“Tapi kan buk..”
“Avi sayang kan sama ibuk?”
“Avi sayang ibuk” kataku yang memeluk ibuku.
“Kalau ayah udah selesai ngerjain tugasnya, ayah pasti pulang. Sekarang Avi nggak boleh nakal.”
Sejak itulah aku mulai belajar untuk tidak mengingat-ingat sosok ayah yang kuanggap sedang mengerjakan tugasnya diluar kota. Hanya ada aku, ibu, dan adik dirumah. Kami bahagia, meski tanpa ayah. Tapi aku yakin kami akan lebih bahagia bila ayah disini.
Tak pernah aku bermimpi dan sekedar berandai-andai kalau keluarga kami akan utuh kembali. Sama sekali tak ada harapan yang kurang lebih seperti itu. Yang kutahu, sejak 6 tahun lalu ayah benar-benar pergi. Tanpa kabar dan apapun.
Sesekali kerinduan itu datang. Membawaku pada sebuah kenangan dimana aku masih bisa tersenyum bersama ayah, ibu, dan adikku. Keluarga yang begitu bahagia.
Merajut keluarga tanpa sosok figure seorang ayah seperti saat ini membuatku harus tetap tersenyum. Dan itulah alasan kenapa aku begitu menyayangi ibuku, yang selama ini selalu dapat membuatku tersenyum.
Sepulang kencan dengan Resza semalaman lagi-lagi harus membuatku berbohong pada ibuku.
“Semalam kemana?” tanya ibu yang tak begitu mengkhawatirkanku, sepertinya.
“Avi ngerjain tugas sampe larut dirumah Yessi buk. Maaf Avi nggak sempet ngabarin.”
“Lain kali jangan diulangi. Tadi malem ibuk juga telfon Yessi, soalnya hp kamu nggak aktif”
“Hah?? Yang bener buk? Ibuk serius?” tanyaku kaget dan cemas.
“Iya. Yessi bilang kamu udah tidur, dan hp kamu lowbat”
“Oh ya?” tanyaku semakin kaget.
“Iya. Emang Yessi nggak cerita?”
Aku hanya diam dan tersenyum pada ibuku. Huft, hampir aja ketahuan.
“Kamu sama Resza gimana?” tanya ibu yang lagi-lagi membuatku kaget.
“Maksudnya?”
“Kamu udah putusin dia kan?”
“Putus?”
“Ibuk kan tempo hari udah nyuruh kamu putus sama dia.”
“Ibuk apa-apaaan sih..”
“Ibuk serius lho Vi” kata ibu yang kemudian duduk disampingku.
“Avi nggak bisa buk” kataku menunduk.
“Avi… ibuk nggak suka kamu berhubungan sama dia! Paham?!”
“Ibuk apa-apaan sih?! Udah deh” kataku yang kemudian memalingkan mukaku menjauh dari ibu.
“Vi. Liat ibuk.”
“Males.”
“Avi..”
“Apaan sih?!”
“Kamu udah mau bandel? Hah? Kenal cowok itu langsung mau bandel?”
“Apaan sih?! Resza nggak kayak yang ibuk bilang kok!”
“Dia bukan cowok baik-baik sayang”
“Dia baik kok buk! Siapa bilang?!”
“Kamu itu belum ngerti apa-apa soal cowok! Pokoknya ibuk mau kamu putus sama dia, titik!”
“Apaan sih?! Maaf buk, Avi nggak bisa!”
“Avi!”
“Ibuk! Hubungan ini tu Avi yang jalanin, bukan ibuk! Avi ngrasa bahagia, nyaman sama dia!”
“Tapi dia bukan yang terbaik buat kamu!”
“Udah deh buk! Ini hubungan Avi yang jalanin!”
“Kamu mau nglawan ibuk?!”
“Maaf buk…”
“Suatu hari kamu bakal sadar! Ibuk Cuma nggak mau kamu sakit sayang!”
“Ini udah jadi pilihan Avi buk. Maafin Avi”
“Avii..”
“Maafin Avi buk.”
“Kamu belum tau apa-apa sayang soal ini” kata ibuku yang kini memelukku.
“Karna avi belum tau makanya Avi pengen belajar buk, biar Avi tau”
“Tapi ibuk nggak mau kamu sakit sayang. Ibuk sayang sama Avi”
“Avi nggak papa buk. Avi janji Avi nggak papa. Ibuk percaya kan sama Avi?”
Ibu menatapku dalam-dalam dan tersenyum “Kamu jaga diri ya sayang..”
Aku hanya mengangguk mengiyakan saran ibuku itu “Ibuk tenang aja”