Album Biru

Sabtu, 15 Desember 2012

Bagian 10
Album Biru

Butiran debu itu membuat album foto ini terlihat usang bersama tumpukan barang tak berguna lain digudang belakang. entah, berapa tahun silam album biru ini terakhir dibuka. Kutiup perlahan debu sampul album ini.
Halaman pertama, ada foto 2 sejoli yang mengenakan baju akad nikah. Ayah yang mengenakan jas hitam tarlihat begitu gagah memeluk ibuku yang berkebaya putih begitu cantik. 2 sejoli yang berikrar untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Halaman kedua. Seorang bayi perempuan telah hadir dan melengkapi kebahagian mereka. Seorang bayi yang cantik itu tersenyum dipangkuan ayah dan ibunya yang begitu menyayanginya sebagai buah hati pertama mereka. Itu aku.
Halaman ketiga. Gadis itu tumbuh dengan sehat. Pagi sekali ia mengenakan seragam merah putihnya untuk yang pertama. Bersama ayahnya yang mengenakan kemeja biru dan bersiap ke kantor.
Halaman keempat. Gadis itu menyuapi ayah dan ibunya kue pertama yang ia potong diulang tahunnya yang ke-7.
Halaman kelima. Gadis itu duduk menikmati senja bersama ayah ibu yang dikasihinya. Duduk dan tersenyum pada langit senja yang menjadi favorit mereka.
Halaman keenam. Seorang bayi jelita kembali melengkapi hari-hari mereka. Dwi Ayu Teguh Pambudi. Balita yang berbadan gemuk itu menjadikan tawa pada hari-hari mereka kini.
Halaman terakhir. Ada ayah, ada ibu, ada adikku. Dan ada aku. Seorang gadis yang masih kecil yang belum tahu apa itu kehidupan. Yang kutahu saat itu, aku bahagia. Kami tersenyum didepan sebuah kamera yang mengabadikan kebersamaan kami.
Gambar itu membuatku hanyut pada kebahagiaan masa lalu. dan kini hanya tinggal sebuah kenangan yang tersimpul pada album yang kini berada dipangkuanku. Pertengkaran yang pagi itu terjadi dirumah kami, belum membuatku mampu berfikir bahwa ini akan terjadi. Perceraian 6 tahun lalu membuatku harus menerima semua kenyataan bahwa inilah keluargaku sekarang.
Kepergian ayah yang membuatku harus menangis merindunya, membuatku harus berlari mengejar sebuah mobil yang begitu cepat melaju pagi itu. Pergi, meninggalkan kami. Aku belum tahu. Aku belum mengerti ketika itu. Yang kutahu aku hanya berteriak memanggil ayahku, berlari dan mengejar mobil yang meninggalkan halaman depan rumah kami. Begitu bodohnya aku. Aku tak sekuat itu untuk berlari. Untuk terus mengejar, aku lelah. Aku terjatuh. Ibu yang menyeretku membuatku semakin jauh mengikuti mobil itu.
Beberapa hari belakangan sepergian ayahku, aku marah. Tanpa melakukan apapun. Yang kumau saat itu, aku ingin bertemu ayah. Ibu yang terus memarahiku dan memintaku untuk melupakan ayah membuatku semakin marah.
Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Aku tak peduli aku sakit, yang kumau aku bertemu ayah. Ibu tak lagi memarahiku. Perlahan ia memelukku. Wanita itu menangis.
“ibuk…” panggilku perlahan melihat ibuku menagis dan memelukku.
“Kamu kangen ya sama ayah?”
“Iya buk. Ayah kemana? Avi pengen ketemu ayah buk” aku tak dapat menahan tangisku yang mulai pecah karena aku benar-benar merindukan ayahku.
“Ayah harus pergi nak”
“Kemana? Kenapa nggak pamit sama Avi? Ayah jahat”
“Ayah nggak jahat. Ayah buru-buru. Ibuk juga kangen kok sama ayah, sama kayak Avi”
“Ayo cari ayah buk, Avi mau ketemu ayah”
“Ayah lagi sibuk sayang. Ayah pasti juga kangen banget sama Avi. Sama Ayu.”
“Sama ibuk juga kan?”
“Iya sayang. Ayah pasti juga kangen banget sama kita.”
“Kapan ayah pulang buk?”
“Kalau ayah udah selesai ngerjain tugasnya, ayah pasti pulang.”
“Kapan buk?”
“Ibuk nggak tahu sayang. Avi nggak boleh ganggu ayah. Ayah baru ngerjain tugasnya. Ayah sibuk”
“Tapi Avi kangen buk sama ayah.”
“kan ada ibuk..” kata ibuku yang masih terus menangis dan tersenyum padaku.
“Tapi Avi maunya ayah buk”
“Avi. Avi nggak sayang ya sama ayah, sama ibuk?”
“Sayang buk. Avi itu sayang banget sama ibuk sama ayah”
“Kalau Avi sayang, Avi nggak boleh nakal. Biarin ayah kerja dulu. Sekarang Avi sama ibuk, sama adek. Ya?”
“Tapi kan buk..”
“Avi sayang kan sama ibuk?”
“Avi sayang ibuk” kataku yang memeluk ibuku.
“Kalau ayah udah selesai ngerjain tugasnya, ayah pasti pulang. Sekarang Avi nggak boleh nakal.”
Sejak itulah aku mulai belajar untuk tidak mengingat-ingat sosok ayah yang kuanggap sedang mengerjakan tugasnya diluar kota. Hanya ada aku, ibu, dan adik dirumah. Kami bahagia, meski tanpa ayah. Tapi aku yakin kami akan lebih bahagia bila ayah disini.
Tak pernah aku bermimpi dan sekedar berandai-andai kalau keluarga kami akan utuh kembali. Sama sekali tak ada harapan yang kurang lebih seperti itu. Yang kutahu, sejak 6 tahun lalu ayah benar-benar pergi. Tanpa kabar dan apapun.
Sesekali kerinduan itu datang. Membawaku pada sebuah kenangan dimana aku masih bisa tersenyum bersama ayah, ibu, dan adikku. Keluarga yang begitu bahagia.
Merajut keluarga tanpa sosok figure seorang ayah seperti saat ini membuatku harus tetap tersenyum. Dan itulah alasan kenapa aku begitu menyayangi ibuku, yang selama ini selalu dapat membuatku tersenyum.
Sepulang kencan dengan Resza semalaman lagi-lagi harus membuatku berbohong pada ibuku.
“Semalam kemana?” tanya ibu yang tak begitu mengkhawatirkanku, sepertinya.
“Avi ngerjain tugas sampe larut dirumah Yessi buk. Maaf Avi nggak sempet ngabarin.”
“Lain kali jangan diulangi. Tadi malem ibuk juga telfon Yessi, soalnya hp kamu nggak aktif”
“Hah?? Yang bener buk? Ibuk serius?” tanyaku kaget dan cemas.
“Iya. Yessi bilang kamu udah tidur, dan hp kamu lowbat”
“Oh ya?” tanyaku semakin kaget.
“Iya. Emang Yessi nggak cerita?”
Aku hanya diam dan tersenyum pada ibuku. Huft, hampir aja ketahuan.
“Kamu sama Resza gimana?” tanya ibu yang lagi-lagi membuatku kaget.
“Maksudnya?”
“Kamu udah putusin dia kan?”
“Putus?”
“Ibuk kan tempo hari udah nyuruh kamu putus sama dia.”
“Ibuk apa-apaaan sih..”
“Ibuk serius lho Vi” kata ibu yang kemudian duduk disampingku.
“Avi nggak bisa buk” kataku menunduk.
“Avi… ibuk nggak suka kamu berhubungan sama dia! Paham?!”
“Ibuk apa-apaan sih?! Udah deh” kataku yang kemudian memalingkan mukaku menjauh dari ibu.
“Vi. Liat ibuk.”
“Males.”
“Avi..”
“Apaan sih?!”
“Kamu udah mau bandel? Hah? Kenal cowok itu langsung mau bandel?”
“Apaan sih?! Resza nggak kayak yang ibuk bilang kok!”
“Dia bukan cowok baik-baik sayang”
“Dia baik kok buk! Siapa bilang?!”
“Kamu itu belum ngerti apa-apa soal cowok! Pokoknya ibuk mau kamu putus sama dia, titik!”
“Apaan sih?! Maaf buk, Avi nggak bisa!”
“Avi!”
“Ibuk! Hubungan ini tu Avi yang jalanin, bukan ibuk! Avi ngrasa bahagia, nyaman sama dia!”
“Tapi dia bukan yang terbaik buat kamu!”
“Udah deh buk! Ini hubungan Avi yang jalanin!”
“Kamu mau nglawan ibuk?!”
“Maaf buk…”
“Suatu hari kamu bakal sadar! Ibuk Cuma nggak mau kamu sakit sayang!”
“Ini udah jadi pilihan Avi buk. Maafin Avi”
“Avii..”
“Maafin Avi buk.”
“Kamu belum tau apa-apa sayang soal ini” kata ibuku yang kini memelukku.
“Karna avi belum tau makanya Avi pengen belajar buk, biar Avi tau”
“Tapi ibuk nggak mau kamu sakit sayang. Ibuk sayang sama Avi”
“Avi nggak papa buk. Avi janji Avi nggak papa. Ibuk percaya kan sama Avi?”
Ibu menatapku dalam-dalam dan tersenyum “Kamu jaga diri ya sayang..”
Aku hanya mengangguk mengiyakan saran ibuku itu “Ibuk tenang aja”









pelangi di matamu


Bagian 1
Pelangi di Matamu

Pelangi. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Perpaduan 7 warna yang seringkali kita kagumi ketika hujan mulai reda. Mendung, hujan, dan ia akan datang. Seringkali aku duduk termangu. Menunggu. Tapi?? Sayang, pelangi sore ini tak datang. Padahal aku ingin sekali melihatnya. Sedari hujan tadi aku hanya duduk disini dan menanti pelangi itu. Tapi kenapa ia tak muncul juga.
Seseorang bertanya padaku, apa yang kamu tunggu dari sebuah pelangi?  Aku pun menjawabnya, tentu saja. Kamu tahu kan pelangi itu indah. Lengkungan yang ia torehkan seringkali membuatku ingin segera terbang dan meraihnya. Apa kamu yakin?? Terkadang sesuatu yang kamu anggap indah belum tentu benar. Bukankah kamu tahu pelangi itu hanya sebuah biasan?? Yang artinya, mejikuhibiniu bukanlah wajah aslinya. Pelangi hanyalah sebuah genangan air yang jelas bukan berwana merah, jingga, ungu, atau bahkan yang lain yang biasa kamu lihat dan kamu anggap indah.
Ya, itulah aku. 8 bulan aku hidup sebagai pelangi dikedua mata Doni. Aku adalah sesuatu yang memang dianggap indah olehnya, tapi, apakah dia tahu bahwa aku bukanlah merah, jingga, kuning, dan apapun yang ia anggap indah?? Kepercayaan yang dia letakkan dipelupuk matanya untuk memandangku memang bukan hal yang benar. 8 bulan inilah, hubungan kami bisa dikatakan special. Mungkin special untuk Doni, tapi sayangnya bukan untukku. Selama ini aku telah berusaha mencintainya dalam keadaan apapun, tapi?? Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dibangun ketika aku harus memilikinya. Tapi disisi lain aku sadar cinta juga bukan sesuatu yang bisa dimusnahkan ketika aku harus melepasnya. Aku tahu, selama ini aku membohonginya. Tapi, aku juga membohongi diriku sendiri. Satu hal, bukan hal mudah hidup sebagai pelangi dimatamu selama ini.
Kebaikannya lah yang membuatku harus tetap tersenyum dan bertahan disini. Takkan pernah terhitung semua yang pernah dia lakukan hanya untukku. Ada rasa dimana aku ingin sekali hidup sebagai seorang Navila yang sebenarnya. Hidup dan bukan terpenjara dalam hati seseorang yang sama sekali tidak aku inginkan kehadirannya dalam di setiap hari-hariku. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Mungkinkah aku harus pergi? Mungkin juga aku harus membela diri dan mengutamakan kebahagiaanku sendiri? Memilih satu diantara kebahagiaan orang lain dan kebahagiaanku sendiri bukanlah hal mudah yang dengan gampang dapat aku putuskan. Kalau aku memilih Doni bahagia, resiko yang aku ambil adalah perasaanku sendiri. Bicara soal perasaan, aku berharap Doni lah yang mengisinya. Betapa bahagianya bila aku bisa mencintai Doni yang selama ini begitu mencintaiku. Tapi sayang, 8 bulan hubungan kami terjalin tapi tak sedikitpun rasa sayang yang aku rasakan untuk Doni. Sebenarnya kalau boleh memilih, aku lebih suka antara aku dan Doni menjadi sahabat. Tapi aku yakin Doni tak akan setuju dengan keputusanku ini. Aku tahu rasa cintanya padaku bukan main-main.
Terkadang ada rasa lelah yang memang tak bisa kupungkiri ketika aku mulai menyadarinya. Harus menjalin hubungan dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai, kalian bisa bayangkan sendiri. Dan itu telah terjalin selama 8 bulan. Bukan hal yang singkat waktu 8 bulan untuk berbohong. 1 pengakuan, selama 8 bulan ini aku belum pernah kencan dengannya. Ajakan untuk sekedar malam mingguan jelas ada lah, tapi lagi-lagi aku harus berbohong untuk menghindar. Bisa dibayangkan, mana mungkin aku kencan dengan seseorang yang sama sekali tidak aku harapkan. Kalau dipikir-pikir jelas kasihan, tapi mau gimana lagi, toh aku nggak mungkin nyiksa diriku sendiri. Dan itulah Doni, apapun yang kulakukan, ia tetap disini. Tanpa menyadari apa yang selama ini aku lakukan padanya. Entah, mungkin dia memang polos, atau mungkinkah karena dia begitu menyayangiku?!
Lagi-lagi. Malam ini aku sempat berdo’a agar Doni tak mengajakku malam mingguan. Tapi sayangnya Tuhan berkehendak lain.

1 message from Doni
Sayang kita malam mingguan yuk


Reply
Ups, sorry. Aku ada janji sama adek sepupu. Next time deh
Send

1 message from Doni
Huft  gitu ya? Oke. Minggu depan ya?

Reply
Oke deh  semoga nggak ada halangan lagi
Send

1 message from Doni
Wah susah nih cari baju buat SPL besok..

Reply
Baju apaan?
Send

1 message from Doni
Seragam futsal sayang. Ini sama anak-anak 11 bahasa.

Reply
Oh. Kelas kita sama anak 11 bahasa ya?
Send

SPL adalah pertandingan sepak bola antar kelas yang diadakan OSIS sekolahku setiap tahunnya. Acara ini banyak mendapat seponsor untuk itu bisa dianggap bukan acara yang sepele. Kebetulan kelasku bergabung dengan kelas 11 bahasa. Oh pantes setiap istirahat pertama dan kedua kakak kelas terutama kelas 11 bahasa selalu berkunjung ke kelasku. Membicarakan sesuatu entah apa dengan siswa laki-laki 10B. Ternyata yang mereka bicarakan adalah strategi yang akan mereka laksanakan sore nanti pada pertandingan.
Ah sial. Sumpah demi apa baru kali ini aku lupa mengerjakan pr matematika. Untung masih dalam kategori mudah yang bisa aku kerjakan tanpa repot-repot mengeluarkan tenaga ekstra. Tanpa disadari ternyata aku kelihatan lebih sibuk sendiri dibanding teman-teman lain. Bukan karena aku kesulitan, bahkan kalau soal matematika aku jagonya. Tapi karena memang aku orangnya suka sibuk sendiri dan selalu tergesa dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Ketenangan bukan hal yang lebih sering kulakukan, entah mengapa. Tapi itu kata teman-temanku. Kalau menurutku pribadi sepertinya aku biasa-biasa saja. Tapi memang ada benarnya, aku memang tidak bisa diganggu ketika aku mulai ingin berpikir apalagi dengan konsentrasi cukup. Seringkali aku tak pernah menghiraukan apa yang menurutku bukan sesuatu yang penting.
“Dek, punya permen nggak?”
“Ini” kataku sambil memberikan sesuatu padanya.
“Dek, permen! Bukan polpen! Wah eror” tawa seorang siswa yang sedang duduk dibawah kursiku.
“Apa sih ketawa segala?” tanyaku sambil menghentikan pekerjaanku karena tawa cowok itu.
“Aduh dek.. aku kan mintanya permen, kok dikasih pulpen sih? Haha”
“upss.. aduh maaf kak”
“Aduh dek, lagi nggak konsen ya?”
“Hehe maaaf kak, hehe”
“Yaudah punya permen nggak ni?” tanya cowok itu yang masih terus mentertawakanku.
“Enggak kak, he”
“Yaudah-yaudah.. sana lanjutin lagi pekerjaan kamu”
Aduh betapa malunya aku. Dimintain permen malah aku kasih pulpen. Ya ampun, apalagi yang minta itu tadi kakak kelas, anak 11 bahasa. Aduh bodoh banget sih Navila. Aku hanya senyum-senyum celingukan. Rasanya tu kayak mati gaya. Aduh pengen lari. Berharap ini cuma mimpi. Siapa yang nggak malu sih, bertindak bodoh dihadapan kakak kelas. Diketawain pula. Aduh

_ --*--_
Inget kejadian tempo hari itu rasanya pengen nutupin muka. Betapa bodohnya Navila. Didepan kakak kelas, oh my god, help me. Tolong. Malu banget. Apalagi kalau ketemu orangnya. Aduh. Minta ampun malunya. Cuma bisa senyum-senyum karena aku tahu banget cowok itu juga masih inget kejadian ini.
“Kamu kenapa sih Vil celingukan gitu?” Doni duduk disampingku.
“Ah enggak kok Don. Tumben anak bahasa nggak kesini? Biasanya istirahat gini mereka kesini kan?” tanyaku mengalihkan.
“Ah, kelas kita udah kalah kemaren pas penyisihan”
“Loh, kalah? Ah kurang semangat tuh”
“Iya. Abis kamu nggak ada sih”
“Apa hubungannya  sama aku coba?”
“Kalau ada kamu kan pasti aku semangat. Hehe”
“Kamu semangat tapi yang lain loyo kan sama aja Don”
“Siapa bilang sayang. Mungkin yang lain juga semangat kalau ada pacarku yang paling cantik ini”
“Ih apaan sih Don. Aku kan nggak lagi bercanda.”
“Kamu kira aku bercanda?”
“Namanya apa coba kalau nggak bercanda. Ngapain mereka semangat kalau ada aku. Emang mereka suka sama aku apa?!”
“Hehe. Ya nggak boleh suka dong. Kan kamu milik Doni seorang. Kalau sampai ada yang suka ya aku marahin. Haha”
“Ah apaan sih Don..”
“Yaudah deh kok malah bahas ini. Kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu kenapa celingukan?”
“Enggak Don.”
“Kamu nyariin anak bahasa?”
“Iya. Tumben aja nggak kesini.”
“Ngapain coba nyariin mereka?”
“Ya ampun, nggak nyariin Don.”
“Terus?” tanyanya ketus.
“Aku tanya doang, biasa aja kali Don”
“Kamu suka sama mereka ya?”
“Apaan sih Don?”
“Udah deh ngaku aja”
“Ngaco deh kamu Don. Kenal aja nggak kok suka sih.”
“Kalau nggak kenal ya kenalan”
“Udah deh. Aku capek. Males kali Don berantem gara-gara masalah yang nggak jelas”
Akhir-akhir ini Doni memang lebih sensitive. Suka bikin masalah. Sesuatu yang nggak patut jadi masalah dipermasalahin. Cemburuan. Coba aja dia tahu kalau aku nggak pernah suka sama dia. Pengen banget putus sama dia. Capek harus jalanin hidup kayak gini. Apa selamanya bakal kayak gini. Apa selamanya aku juga harus berbohong.

PROLOG


Langit Senja
Prolog

Sebuah sinar kini membias langit. Menembus pada baitan awan putih yang berjajar beriringan. Menyorotkan segaris sinar pada celah dedaunan. Menyiratkan mentari yang kini mulai condong. Bayangan panjang tempatku bersanding mulai membelakangi.
Perlahan mentari mulai pergi. Bersembunyi bersama langit yang mulai gelap. Angin pun tak lagi berhembus. Satu bintang bersinar disana, tanpa bulan dan apapun yang menemaninya. Venus, semakin dia berdiri sendiri, dia akan terlihat lebih terang. Bersinar, sendiri, dia tegar. Meski tanpa siapapun.
Perjalanan hidupku aku rasa begitu panjang. Begitu melelahkan. Hingga suatu hari aku merasa begitu lelah. Dan disaat itulah, semua kenyataan datang. Seperti sebuah hantaman yang siap menghancurkanku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menunggu, dan menunggu.
Takdir yang membawamu datang dalam hidupku, dan ternyata takdir pula lah yang akan membawamu pergi. Datang, pergi.
Hingga suatu hari aku mulai menyadari apa yang aku cari.
Terimakasih untuk waktu yang selama ini telah membuatku yakin satu hal untuk selalu menunggumu, disini.


Apapun itu, Maafin aku

Senin, 19 November 2012

Bagian 9
Apapun itu, Maafin aku
          Siang ini aku merasa begitu lelah. Terik mentari juga membuatku begitu haus, itu alasannya kenapa aku harus pulang lebih awal dari biasanya.
          “Haduh.. capek banget” teriakku begitu memasuki ruang tamu setelah aku sampai dirumah.
          “Lho kok tumben udah pulang mbak” sapa adikku, Ayu, yang sedang bermain Barbie di depan tv.
          “Iya. Ibuk mana?”
          “Itu didapur”
          “Masih marah ya?” tanyaku yang berjalan menuju dapur tanpa ganti baju terlebih dahulu.
          “Udah pulang?” sapa ibu yang benar-benar membuatku kaget sesaat setelah aku mengambil air putih dari dalam kulkas.
          “Oh. Iya buk. Avi capek banget, jadi langsung pulang.”
          “Yaudah ganti baju sana. Abis itu makan. Itu ibuk masak ayam goreng kesukaan kamu.”
          “entar aja deh gantinya. Avi tu laper banget..”
          “yaudah sini makan dulu.” Kata ibu yang menarikkan kursi untukku.
          “Mau pake apa?” lanjut ibu setelah mencentongkan sepiring nasi untukku.
          “Ayam, itu apaan buk?”
          “Itu sayur asem, kamu mau?”
          “Hah? Sayur? Hih nggak deh buk..”
          Aku memang begitu anti dengan sayur. Sedari kecil aku memang tak pernah makan sayur, maka dari itu selalu tersedia buah-buahan didalam lemari es untuk mengganti sayur yang seharusnya aku makan untuk menjaga kesehatanku.
          Belum usai aku menghabiskan makanku siang ini, ponselku sepertinya terdengar nada pesan masuk.
          “Dek Ayu, tolong ambilin hp mbak Avi dong” teriakku meminta bantuan adikku mengambil ponsel itu.
          “Dimana?”
          “Di kamar, di meja deket laptop.”
          1 message from Doni
     Aku tahu, aku bukan yang terbaik buat kamu.

     Reply
     Apa sih Don? Nggak usah mellow gitu.
     Send

     1 message from Doni
     Meskipun aku tahu kalau aku nggak dihati kamu lagi, tapi aku pengen kamu tahu kalau kamu slalu dihati aku

     Reply
     Apa sih Don? Jangan gitu deh
     Send



     1 message from Doni
     1 hal, makasih udah nglakuin semua ini sama aku. Aku harap kamu bahagia sama dia. Met siang Navila.

     Reply
     Walalupun kita nggak ada apa-apa lagi, tapi aku masih pengen kita temenan, sahabatan Don. Aku mau jadi bagian dari hidup kamu.
     Send

     1 message from Doni
     Aku nggak mau nyiksa diriku sendiri Navila, lupain kamu itu lebih baik. Udah ya, selamat tinggal Navila.

          1 hal yang membuatku kini begitu lemah. Membuatku sadar akan semua yang telah aku lakukan selama ini. Apa yang kamu lakukan Navila?? Sejahat itukah kamu?? Apa yang kamu lakukan sama orang yang bener-bener tulus sama kamu?? Dimana hati kamu Navila?! Setelah sekian lama aku bersandiwara dan membohongi semua orang termasuk diriku sendiri atas perasaanku, aku baru tahu. Aku baru sadar. Seperti aku baru tahu kalau aku baru saja membuka mataku. Tertutupkah mataku selama ini? Seketika aku meninggalkan makananku karena aku merasa tak dapat menelan makanan itu. Ibu yang mulai mendapatiku menangis memandangku dalam-dalam. Aku tak sanggup. Berlari dan mengunci pintu dikamar aku rasa lebih baik.
          Seperti ada sesuatu yang selalu berputar dikepalaku. Seperti ada suara yang kini berteriak menyalahkanku. Semua orang seperti memandangku sinis, memakiku, semua bilang aku jahat. Aku hampir gila dengan semua ini.
          “Navila” suara itu memanggilku dari balik pintu.
          Sambil kuusap air mata, kutahan isak tangis, aku berusaha bertanya siapa disana sebelum akhirnya aku membuka pintu.
          “Yessi..” aku mendapati sahabatku yang berdiri khawatir mendengar cerita dari ibu bahwa aku menangis.
          Seketika dia memelukku erat, dan mengajakku duduk disofa yang ada dikamarku.
          “Kamu kenapa?? Ada apa Navila?”
          aku hanya terus menangis karena aku tak bisa mengehentikannya.
          “Heh, kenapa? Cerita..”
          “Yessi.. apa aku jahat?”
          “Jahat? Udah dong jangan nangis dulu. Tenang, terus cerita.”
          “Aku nggak bisa tenang Yess”
          “Navila. Udah dong. Sekarang kamu tenang, tarik nafas terus buang perlahan, tenang.”
          Aku berusaha mendengar apa yang Yessi bilang, dan benar aku dapat melakukannya.
          “Udah?? Jahat kenapa? Kamu baik kok”
          “Doni..”
          “Aku tahu apa yang Doni pasti lakuin ke kamu.” Kata Yessi yang kini tertunduk didepanku.
          “Ini resiko kamu Navila.” Lanjut sahabatku itu.
          “Apa yang harus aku lakuin Yess? Aku udah berusaha ngajak dia baikan,tapi, dia menolak.”
          “Karena dia bener-bener sayang sama kamu Vil. Kamu bilang gitu karna kamu nggak diposisi dia. Dia pasti sedih dan kecewa sama kamu Vil. Wajar kalau dia nglakuin itu”
          “Tapi aku nggak mau musuhan sama dia. Aku mau jadi sahabatnya buat nebus semua kesalahanku.”
          “Nggak semudah itu. Kamu nggak tahu posisi dia Vil.”
          “Lalu? Apa yang harus kulakukan?”
          “Melupakan dia, itu juga akan lebih baik buat kamu Vil”
          “Nglupain dia Yess?”
          “Iya Vil. Jangan beri harapan kosong sama dia. Itu jauh buat dia akan kecewa”
          Aku hanya diam, apa mungkin aku melakukan semua ini?! Aku harus meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Apa itu mungkin?
          “Percayalah. Jangan ganggu dia lagi Vil. Itu akan lebih baik” lanjut Yessi yang meyakinkanku untuk melakukan hal keji ini.
          Memikirkan hal ini benar-benar membuatku merasa akulah orang terjahat dimuka bumi ini. Doni, maafin aku.


          Resza yang mendengar semua cerita dari Yessi tadi siang membuatya datang kerumah malam ini. Ini untuk yang pertama kalinya dia berani berkunjung kerumah setelah hubungan kami berjalan selama 3 bulan. Ketika ibu mengetok pintu kamar dan memberi tahu bahwa ada yang mencariku, aku langsung kaget. Aku sudah menduga itu Resza. Ini bakal jadi masalah baru.
          “Navila..” panggil Resza ketika aku menemuinya di ruang tamu.
          “Kamu ngapain kesini?” bisikku yang mengajaknya kembali duduk.
          “Yessi udah cerita, kamu..”
          “aduh mending kita ketemu diluar aja deh..” potongku.
          “Emangnya kenapa?”
          “Soalnya..” ketika aku belum selesai berbicara ibu datang dengan membawa 2 gelas lemon kepada kami.
          “Ini minumnya.. ayo diminum..” kata ibu sambil meletakkan gelas tersebut pada meja ukir dihadapan kami.
          “Eh iya Tante..” jawab Resza senyum-senyum sambil memandangku sesekali.
          “Eh malem Tante, nama saya..” sapa Resza yang segera mengulurkan tangan pada ibuku.
          Sesegera mungkin aku memotong perkataan Resza sebelum ia menyebutkan siapa dia.
          “Ini namanya Nico buk.. temen sekelas Avi” kataku pada ibu yang juga segera menjabat tangan Resza.
          Resza langsung memandangku dengan penuh tanda tanya, aku yakin itu pasti yang akan dia lakukan. Resza hanya tersenyum dan mengikuti permainanku.
          “Eh buk, kita keluar dulu ya.” Izinku untuk segera mengakhiri permainan ini sebelum terlalu jauh.
          “Lhoh mau kemana?”
          “Kita mau ngerjain tugas dirumah Yessi buk”
          “Yaudah tapi diminum dulu. Ayo diminum nak Nico, kamu juga Vi..”
          Aku dan Resza buru-buru menghabiskan minuman itu sebelum akhirnya kami pergi kebukit bintang tempat kami biasa menikmati senja.
          Dalam perjalanan dan sampai kami duduk berdua dibukit ini aku tahu Resza marah dengan yang kulakukan tadi. Kami diam. Tak satupun dari kami mencairkan suasana. Aku menyandarkan kepalaku dibahu kiri Resza yang sedari tadi hanya memandangi bintang yang tak begitu banyak.
          “Resza..”
          Resza hanya diam dan terus menatap langit yang tak begitu terang.
          “Aku tau kamu marah, aku Cuma..”
          Aku terdiam sejenak.
          “Resza.. “ lanjutku ketika Resza mulai memelukku.
          “Ada apa sayang? Hem?” tanya Resza.
          “Maafin aku..”
          “Udah ah, lupain aja. Aku tahu posisi kamu, udah ah..”
          “Resza.. aku ini jahat. aku jahat Resza”
          “Udah. Yang penting kamu udah usaha. Kamu masih inget kan kalau aku itu bakal selalu ada buat kamu? Buat nglindungin kamu?”
          “Kamu itu satu-satunya alasan kenapa aku bisa senyum, kamu jangan tinggalin aku ya sayang”
          “Aku sayang sama kamu Navila, apapun itu, aku hidup Cuma buat kamu”
          Resza. Satu-satunya yang benar-benar membuatku tetap bertahan. Satu-satunya yang memberi warna dalam hidupku.
          “Eh sayang, kita disini sampai besok pagi yuk” ajak Resza menawariku.
          “Hah? Besok pagi? Terus mau ngapain?”
          “Kita nikmatin waktu aja. Kan jarang-jarang kita nglakuin ini.”
          “Terus nggak tidur dong? Kan aku ngantuk”
          “Ya tidur aja kalau ngantuk. Aku jagain kamu sayang.”
          “Disini?”
          “Iya. Aku jagain kamu sayang”
          “Kamu nggak tidur?”
          Resza tersenyum. “Enggak. Buat malem ini aku pengen jagain kamu tidur. Ya?”
          “Tapi kan Za..”
          “Sekali ini aja. Ya?? Aku lagi kangen sama kamu sayang.”
          Aku mengiyakan permintaan Resza malam ini untuk tetap tinggal disini.
          “Kita matiin hp yuk..” ajak Resza setelah mendengar hpnya bordering tanda sms dari Bayu, teman sekelasnya.
          “Kenapa? Entar kalau ada yang sms gimana?”
          “Biarin. Pokonya aku mau malam ini nggak ada yang ganggu kita.”
          “Oke deh siapa takut..”
          Kami berdua sepakat untuk me-non-aktifkan hp malam ini.
          “Navila..”
          “Hem?”
          “Aku sayang banget sama kamu”
          “Hahaha.. Terus?” tanyaku geli.
          “Aku nggak mau pisah sama kamu, aku nggak mau”
          “Aku juga nggak mau”
          “Navila..”
          “Apa sayang?”
          “Kamu mau nggak janji 1 hal.”
          “Apa?”
          “Kamu nggak bakal ninggalin aku, kamu nggak bakal lupain aku.”
          “Tanpa kamu minta”
          “Navila..”
          “Apa lagi sih sayang?” jawabku yang kini melepaskan pelukannya dan memandanginya.
          “Aku sayang sama kamu”
          “Hahaha.. iya-iya. Tadi kan juga udah bilang.”
          “Hehe nggak tau ni pengen bilang ini terus, eh makasih ya, udah mau temenin disini malem ini”
          “Apa sih yang nggak buat pacar aku yang paling ganteng ini?? Hem?”
          “Ih centil banget ni, dasar”
          “Centil. Tapi suka kan?”
          “Aku sayang sama kamu, pokoknya aku sayang sama kamu.”
          “Ih udahan deh. Bosen denger itu mulu. Resza, aku ngantuk”
          “Yaudah sini aku pangku, kan biasanya anak manja nggak bisa tidur kalau nggak pake kasur”
          “Ih, kok malah ngejekin sih?!”
          “Hehe enggak-enggak sayang. Sini..”
          Aku tidur dan bersandar dipangkuan Resza. Malam ini adalah malam terindah selama aku hidup. Selama aku didunia yang melelahkan ini. Serasa aku akan tidur dalam ketenangan. Dengan sesuatu yang akan membuatku yakin kalau dia pasti menjagaku.
          “Resza.. makasih ya.”
          “Udah-udah. Bobok sayang.. besok aku bangunin pagi-pagi.”
          Resza mengantarkan tidurku dengan ciumannya dikeningku sepanjang malam ini. Aku sayang kamu Resza.
_--*--_
          “Sayang..” sentuhan itu dengan lembut menyentuh pipiku.
          “Sayang.. ayo bangun”
          “Sayaang….” Panggilnya lagi.
          Perlahan kubuka mata yang masih begitu berat.
          “Sayang, ayo bangun”
          “Aku masih ngantuk..” jawabku yang belum kunjung beranjak dari pangkuan Resza.
          “Eh, udah subuh ni..”
          “Ehhm bentar lagi..”
          “Heh sayang..” panggil Resza berusaha membangunkanku.
          Dengan mata yang belum begitu terbuka aku mulai bangun dari sandaran di badan kekasihku itu.
          “Heh, ayo-ayo bangun. Ada yang mau aku tunjukin sama kamu..”
          “Apa sih Za?? Kan aku masih ngantuk.”
          “Kamu liat bintang itu nggak??” kata Resza yang menunjuk satu-satunya bintang pagi ini.
          “Venus?”
          “Iya. Itu bintang favorit aku.”
          “Oh ya?!” tanyaku tersentak.
          “Iya. Kenapa kaget sayang?”
          “Venus. Itu bintang yang sering ayah lihat, ayah suka banget sama bintang itu. ayah suka bangun pagi buat bela-belain liat bintang itu Resza.”
          “Oh ya?? Sama dong. Aku suka banget sama bintang itu sayang. Dan, ada 1 hal yang mau aku omongin sama kamu.”
          “Apa?” tanyaku yang mulai serius dan memandang Resza.
          “Sekarang aku udah kelas 3. Bentar lagi aku ujian”
          “Kamu harus rajin belajar ya, nggak boleh bandel lagi”
          “Ssst.. aku kan belum selesai bicara” potong Resza.
          Kemudian ia melanjutkan “Aku udah nggak bisa kayak dulu lagi”
          “Maksudnya?” tanyaku yang mulai merasa ada yang tidak benar.
          “Kita nggak bisa sering-sering main lagi. Nggak bisa smsan seharian kayak kemarin-kemarin. Aku mau focus belajar. Aku mau punya NEM yang tinggi.”
          “Oh bagus” kataku kaget yang juga kecewa.
          “Kamu marah?”
          “Enggak.”
          “Heh sayang. Aku kan belum selesai ngomong, dengerin. Kita bisa tetep barengan, bisa maen, bisa smsan, Cuma nggak kayak dulu lagi”
          “Kan bisa sambil belajar!”
          “Heh. Aku kalau lagi belajar harus konsen sayang.”
          Aku hanya diam tanpa merespon apapun.
          “Lhoh kok marah. Yaudah deh, yaudah. Aku bakal terus temenin kamu kalau gitu”
          “Aku nggak nglarang kamu buat belajar. Kan bisa sambil smsan. Apa susahnya sih?!”
          “Iya-iya. Aku bakal temenin kamu. Ih yaudah deh ngomongin yang lain aja”
          “Aku nggak mau kamu tinggalin Resza”
          “Iya. Aku nggak akan ninggalin kamu kok. Eh coba deh kamu lihat bintang venus itu”
          “Kenapa? Apa istimewanya sih sampai-sampai banyak orang yang suka sama dia.”
          “Lihat aja. Dia satu-satunya bintang pagi ini.”
          “Terus?”
          “Dia berani sendiri kan? Tanpa siapapun.”
          “Kamu nyindir aku?”
          “Enggak sayang. Jangan sensitive dong. Aku Cuma mau nasehatin kamu, meskipun kita sendirian, tanpa siapapun, tapi kita harus tetap tegar. Tetap bersinar. Kayak bintang itu.”
          “Tapi aku mau sama kamu terus Resza. Aku nggak mau sendirian.”
          “Iya. Aku bakal sama kamu terus kok.”
          “Kamu itu semangat aku Resza”
          “Kamu juga semangat aku sayang. Kamu tahu nggak? Aku hidup Cuma buat kamu. Aku berjuang hidup Cuma buat kamu”
          “Resza, apapun yang terjadi sama kita berdua, aku pengen sama kamu terus. Aku nggak mau pisah sama kamu”
          “Iya sayang. Apapun itu, aku yakin kita nggak bakal dipisahin. Sekalipun iya, aku yakin hati kita nggak akan dipisahin.”
_--*--_