Bagian 8
Maafin Aku
Siang ini perutku
begitu lapar. Karena insiden pagi tadi aku tidak sarapan, ibu jadi marah dan
tidak memasak apapun untukku. Bahkan sedari aku pulang sekolah tadi ibu enggan
bicara denganku.
“Buk, makan pake
apa?” tanyaku basa-basi karena didapur tak ada satupun makanan, bahkan nasi pun
tak ada.
“Buuukk…” panggilku
lagi karena ibu tak menjawab pertanyaanku dan masih asyik dengan sinetron yang
ditontonnya.
“Buuk.. marah ya?”
kataku yang kemudian duduk dan memeluk ibuku.
“Besok ibu nggak
mau bikin sarapan lagi kalau kamu kayak tadi pagi..”
“Iya buk, maaf.
Tadi Avi buru-buru.”
“Sekarang kamu
berubah.” Kata ibu yang tak kunjung padam dari amarahnya.
“Berubah?? Berubah
gimana?? Avi ngrasa sama aja tu buk.”
“Sekarang bandel.
Suka berangkat siang. Nggak pernah sarapan. Tidurnya juga larut. Suka maen.
Pulang sore. Berani bantah omongan ibuk” jelas ibu yang sepertinya
memojokkanku.
Aku hanya diam
karena aku juga merasa omongan ibu itu ada benarnya juga. Kalau diakui,
sekarang aku memang terlihat berbeda.
“Cowok kamu siapa
sekarang?”
Aku terkejut
mendengar pertanyaan ibu yang sepertinya tahu kalau aku udah putus sama Doni.
“Ngaku aja, ibuk
pengen tau.” Kata ibu yang mematikan televisinya dan kemudian memandangku.
Aku berfikir dan
terdiam sejenak sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya. “Namanya
Resza buk. Kakak kelas Avi. Sekarang kelas 12 bahasa.”
“Dia bukan cowok
baik-baik kan?”
“Hah? Baik kok.
Siapa bilang” kataku yang mulai membela Resza.
“Doni udah cerita
semuanya. Soal kamu dan pacar kamu. Kamu berubah. Kamu sekarang udah nggak
bener!” kata ibu yang kini mulai marah padaku.
“Apaan sih buk?
Resza nggak kayak gitu kok! Dia baik!”
“Kamu nggak usah
sok bela dia!”
“Emang dia nggak
kayak yang ibuk omongin kok!”
“kamu bisa liat
dia. Dari kelasnya aja cuma jurusan bahasa!”
“Terus?? Nggak
semua anak bahasa itu nggak pinter dan nggak bener!”
“Ibuk nggak suka
sama dia!”
“Tapi Avi suka sama
dia!”
“Avii…”
“Ibuk itu jangan
percaya Doni buk! Dia cuma cemburu aja ngliat aku sama Resza!”
“Pokoknya ibuk
nggak suka! Ibuk pengen kamu putus sama dia! Ibuk nggak mau lagi ngliat kamu
pacaran sama dia!”
“Apa-apaan sih?
Nggak segampang itu buk aku putus sama dia!”
“Kamu pilih ibu apa
dia?!” kata ibu yang semakin membentakku.
“Ibuk itu egois!”
Aku bener-bener
nggak habis pikir dengan jalan pikiran Doni. Apa yang dia inginkan. Apa maksud
dari semua ini. Bukan begini caranya untuk menghancurkanku dengan Resza.
Aku segera berlari
ke kamarku meskipun terdengar suara ibu yang memanggil namaku dengan begitu
kasar.
“Avi.. sini kamu!!
Udah mulai kurangajar sama ibuk kamu sekarang!!”
Aku tak
menghiraukannya dan segera membanting pintu kamar. Aku begitu kecewa dan nggak
habis pikir dengan Doni. Apa yang ia mau, apa yang ia rencanakan. Bukan begini
cara dia menghancurkan kami, bukan begini pula cara dia bersaing.
_--*--_
Senja kali ini aku
meminta Yessi datang menemaniku di bukit Bintang. Tempat dimana aku biasa
mencurahkan semua isi hati yang sedang aku rasakan. Tempat yang juga selalu
bisa mengembalikan keceriaan dan semangat setiap kali aku merasa mulai lelah.
“Kenapa sayaaang??”
tanya Yessi yang kemudian memelukku setelah dia datang.
“Kamu kenapa?? Lagi
sedih?” tambah Yessi karena aku terdiam untuk menenangkan suasana hati yang
sedari tadi belum kunjung sembuh.
“Doni Yess..”
jawabku yang kemudian melepaskan pelukan Yessi.
“Doni kenapa?”
“Dia cerita sama ibuk kalau Resza bukan cowok
baik-baik.”
“Apa?? Terus
gimana?”
“Ibuk nggak suka
sama Resza. Dan minta aku buat putus?”
“Aduh Vil. Kok Doni
kayak gitu sih. Terus gimana?”
“Tadi siang ibuk
marah besar Yess” kataku yang kemudian menangis karena menahan amarahku.
“Aduh. Udah Vil.
Jangn nangis. Udah. Udah. Mending sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Udah
sayanng, jangan nangis lagi”
“Aku heran aja
Yess. Apa yang Doni mau.”
“Dia kan masih suka
sama kamu Vil. Mungkin dia pengen kembali sama kamu.”
“Nggak gini Yess
caranya.”
“Udah. Mungkin dia
kepepet. Terus kamu sama Resza gimana sekarang?”
“Aku nggak berani
bilang sama Resza masalah ini. Aku nggak mau dia tahu.”
“Yaudah. Udah dong
jangan nangis. Aku bakal bantuin kamu. Udah sekarang kamu tenangin diri dulu.
Abis itu pulang. Entar kamu dicari ibu kamu. Ya…”
“Iya. Makasih ya
Yess udah nemenin aku disini.”
“Biasanya juga
gimana. Udah jangan nangis lagi. Yuk..”
Sampai dirumah aku
hanya berjalan dan tanpa menyapa ibu yang kelihatannya sedang mengajari Ayu,
adikku, belajar matematika di ruang depan. Disisi lain, sepertinya ibu juga tak
menggubrisku yang baru saja pulang. Langsung saja aku mengambil handuk dan
mandi sebelum udara benar-benar dingin. Maklum, udara di Jogja memang dingin,
apalagi kalau malam.
1 mesagge from Doni. begitu aku membuka
ponsel selesai aku mandi. Mau apa dia?!
Tanyaku yang kemudian berbaring ditempat tidur bersama laptop kesanyanganku.
1 message from Doni
PENGHIANAT!!!
Apa-apaan ini. Apa maksudnya. Apa yang ia inginkan. Aku enggan
membalasnya karena aku nggak mau ada masalah yang dateng lagi. Masalah sama ibu
aja belum kelar, udah mau nambah.
1 message from Doni
Navila. Dasar
penghianat! Kamu nggak punya hati! Meskipun kamu pinter tapi hati kamu itu
mati! Fuck.
1 message from Doni
Dasar penghianat!
Kalau ada masalah aja larinya ke aku, sekarang? Berpaling sama orang lain.
Dasar cewek nggak punya hati. Selama ini aku udah lakuin apa aja sama kamu!
Fuck
Reply
Apa sih Don? Nggak
usah cari masalah!
Send
1 message from Doni
Penghianat! Kamu
nggak ngrasain yang aku rasain! DIKHIANATI!
Reply
Terus? Apa yang
kamu mau sekarang?? ok maafin aku Don kalau aku salah!
Send
1 message from Doni
PENGHIANAT! Awas
kamu! Jangan harap kamu lepas dari aku.
_--*--_
“Heh kenapa?” tanya
Resza yang melihat wajah kecutku pagi ini.
Aku enggan
menjawab, dan terus berjalan meninggalkan hall depan SMA Cenderawasih.
“Heh kok diem aja?”
tambah Resza.
“Kamu kenapa?”
tanya Resza yang terus mengejarku.
“Navila.” Katanya
yang kemudian menarikku dan menahanku untuk berhenti.
“Kamu kenapa?”
tambahnya yang kini memandangiku.
“Aku nggak kenapa-napa”
jawabku sambil memalingkan pandanganku.
“Kamu kenapa?”
“enggak”
“Ada masalah?”
“Enggak.”
“Yaudah, entar kita
pulang bareng.”
“Aku mau rapat”
kataku yang kini memandang Resza.
“Aku tungguin.
Ya..”
“Nggak usah”
jawabku dan berusaha melepaskan tanganku dari Resza.
“Navila…”
“hmm.. iya.”
“udah jangan
cemberut gitu” kata Resza yang melepaskan tangannya yang sedari tadi
menggenggam tanganku.
Aku beranjak pergi
meninggalkan Resza yang sepertinya menghawatirkan keadaanku. Setelah aku duduk
dan meletakkan tas pada loker yang kosong, Doni datang menghampiriku.
“Penghianat!”
“Apa sih Don maksud
kamu! Dasar orang gila”
“Aku emang gila.
Dan kamu tau kenapa? Karna kamu! Cewek brengsek!”
“jaga mulut kamu ya
Don!” triakku yang kini reflek berdiri.
“Emang gitu kan.
Cewek brengsek!”
“kalau aku
brengsek, ngapain kamu masih disini? Udah sana pergi! Jangan deket-deket cewek
brengsek!”
“kamu kira aku
bakal nglepasin kamu gitu aja. Enak aja.”
“Maksud kamu apa?
Hah?”
“Inget ya. Aku
bakal bales semuanya!”
“Silakan. Aku nggak
takut.”
“Camkan baik-baik
gadis brengsek.”
Doni berpaling
meninggalkanku. Aku merasa semua beban kini begitu berat. Aku terduduk lemas.
Doni begitu membeciku. Apa yang harus ku
perbuat?! Aku lelah.
Pulang sekolah
Resza betul menungguku sampai rapat KAR (Kelompok Amaliah Remaja) yang diadakan
Doni sebagai ketua KAR selesai.
“Udah??” tanya
Resza yang mengusap-usap kepalaku.
Aku hanya
mengangguk dan tersenyum tanda aku mengiyakan pertanyaan kekasihku itu.
“Kerumahku aja
yuk.” Ajak Resza menawariku.
“Ya udah”
Resza kemudian
mengenggam tanganku dan mengajakku pergi mengambil sepeda motor kami di
parkiran depan. Di belakang aku melihat ada Doni yang mulai memperhatikanku
yang bersama Resza. Disini aku merasa ada yang aneh. Aku merasa ada yang salah
dariku, juga Doni. Dia tak lagi memandangiku sinis seperti tadi pagi, tapi dia
seperti memandangku dalam-dalam. Aku yakin ada suatu hal yang ia pikirkan,
entah. Tapi yang ku tahu saat ini, aku merasa bersalah. Hingga akhirnya
kulepaskan tanganku dari genggaman Resza yang terus berjalan disampingku.
“Kenapa dilepas?”
“Em aku mau sms
ibuk dulu, ngabarin kalau aku pulang telat” jelasku sambil mengambil ponselku
pura-pura.
“yaudah yuukk…”
Setelah Resza
mengeluarkan kunci rumah yang ia taruh disalah satu pot bunga depan rumahnya,
ia segera membukanya dan mengajakku masuk.
“Mau minum apa
sayang?” tanya Resza sambil meletakkan tas dan sepatu yang ia kenakan tadi.
“Nggak usah. Tadi
aku udah minum”
“Tapi aku haus
sayang”
“Yaudah sana minum”
“berdua ya.” Kata
Resza sambil memberikan gelas berisi air putih itu kepadaku.
“Aku nggak haus
Resza..”
“Navila, kamu itu
harus banyak minum. Ayo minum”
Karena Resza
memaksa akhirnya aku meminum air putih itu. Meskipun hanya 1 tegukan tapi itu
cukup membuat Resza lega dan dia pun meminum sisanya.
“kamu kenapa tadi
pagi? Dateng-dateng mukanya udah ditekuk” tanya Resza.
“Enggak
kenapa-napa”
“Bohong”
“Beneran.”
“Ada masalah?”
“Enggak kok sayang”
“Doni gangguin
kamu?”
Aku terkejut lalu memandangnya
yang sedari tadi tak memalingkan pandangannya dari wajahku. “Enggak. Bukan.
Enggak, dia nggak gangguin aku” lanjutku.
“Kalau kamu
diganggu dia, kamu bilang Navila.”
“Enggak kok. Kamu
nggak usah khawatir.”
“Gimana aku nggak
khawatir liat kamu murung kayak gitu”
Aku hanya tersenyum mendengar Resza yang
mengkhawatirkanku.
“Kamu laper enggak
sayang?” tanya Resza yang mulai memelukku dari belakang.
“Heem. Laper
banget”
“Kita makan yuk..”
“Pake apa?”
“Kamu pengennya
apa?”
“Eh tapi ini kan
udah sore, aku harus pulang.”
“hemm.. yaudah deh
lain kali aja. Eh tapi pulangnya bentar lagi ya. 15 menit, ya”
“uh keburu
sore.”kataku sambil mencubit hidungnya.
“Ntar aku anterin.”
“Males” candaku
sambil senyum-senyum dipelukan Resza.
“Hah? Males?” kata
Resza yang kemudian melepaskan pelukannya.
“Ih kok dilepasin?”
“Abis tadi katanya males! Yaudah sana pulang aja sama cowok
lain”
“ih bercanda
Resza..”
“Bercanda.. bercanda.. kan aku lagi nggak bercanda sayang”
“Iya-iya maaf.
Peluk lagi dong, haha..”
“Iya. Iya sayang.”
Sejenak kami hanya
berpelukan dan saling memandang. Tanpa melakukan dan membicarakan apapun. Yang
kami inginkan saat ini hanyalah kami ingin selalu bersama. Kami tak ingin
dipisahkan satu sama lain. Apapun alasannya.
“Sayang. Udah ah
aku mau pulang” bisikku pada Resza dan memintanya melepaskan pelukannya.
“Entar aja..”
“Udah sore, entar
ibuk nyariin.”
“Hemm, aku masih
kangen sama kamu”
“Besok kita main
lagi.. kapan-kapan.”
“Serius?”
“Iya.”
“Yaudah. Tapi cium
dulu..” goda Resza yang mulai ingin bercanda denganku.
“Cium itu mahal”
“Sekali aja. Buat
perpisahan..”
“Besok kan masih
ketemu”
“Buat topic smsan
kita entar malem, haha”
“Jadi ciuman cuma
buat topic aja?!”
“Enggak sayang.
Bercanda kali. Buat aku inget-inget ntar malem kalau mau tidur.”
“Besok aja deh
ciumnya, ini keburu sore.”
“yaudah kalau gitu.
Aku juga nggak mau nglepasin kamu.”
“Resza.. keburu
sore tau nggak”
“Terserah”
“Resza…”
“Navilaa…”
“Resza…”
“Sekali aja.. ya..”
Aku pun menuruti
permintaan Resza karena itu sebagai syarat buat dia nglepasin pelukan itu.
Tapi, ini memang momen yang nggak kalah juga sama momen-momen special yang lain
yang pernah kami lalui sejak kebersamaan kami.
“hati-hati ya
sayang pulangnya.” Pesan Resza sambil mencium keningku seperti biasa. Aku hanya
mengangguk dan segera pulang.
0 komentar:
Posting Komentar