Bagian 7
BELAHAN JIWA
Saat ini aku
rasa hidupku begitu indah. Tak ada 1 pun yang kurang yang masih aku inginkan,
kecuali permohonan untuk tetap seperti ini. Aku tak ingin keadaan berubah
sedikitpun. Ya Tuhan, aku begitu bersyukur atas semua yang engkau berikan
kepadaku saat ini. Semua kebahagiaan ini datang disaat aku tak pernah
memikirkannya sebelum itu. Datang tiba-tiba tanpa aku tunggu kehadirannya.
Tuhan, yang
kutahu saat ini, aku bahagia. Dan yang kutahu saat ini Engkau memang adil.
Kehidupan yang selama ini aku jalani bukanlah kehidupan yang sempurna yang
sebagian orang rasakan. Tanpa kehadiran sesosok pria yang seharusnya kupanggil
ayah, bersyukur aku masih bisa tersenyum. Ketika aku mulai menangis dan
bertanya padamu, dimana ayahku, kemana
dia, apa dia lupa padaku, saat itu pula kau hadirkan senyuman seorang wanita
yang biasa kupanggil ibu. Sesosok wanita tegar yang selama ini mengasihiku.
Tuhan,
terimakasih. Seorang ibu yang kau berikan padaku melebihi ribuan ayah yang
mungkin bisa saja aku miliki.
Meskipun
begitu,
Ayah, aku bahagia dilahirkan sebagai putri
ayah.
Ibu, aku sangat bahagia dilahirkan
sebagai putri ibu.
Satu hal yang
membuat hidupku kini bisa lebih indah lagi. Kehadiran Resza yang memang tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya, telah mampu membuatku lebih memaknai hidupku.
Kehadirannyalah yang mampu membuatku lebih mengerti apa itu cinta. Di usiaku
yang ke 16 ini, aku harap aku sudah menemukan cinta sejatiku, Resza.
Cinta sejati.
Itulah kata-kata yang selalu terpanjat dalam doaku setiap aku bersujud di
hadapan-Mu. Saat ini tak ada hal yang lebih bahagia yang bisa kudapatkan selain
dari seorang Resza. Kakak kelasku yang satu ini memang benar-benar ISTIMEWA.
Sejak
hubungan kami resmi “berpacaran” sejak 1 bulan yang lalu, tak ada waktu yang
kulewatkan tanpanya. Entah itu bersamanya atau tidak, yang jelas difikiranku
hanya ada nama Resza yang mengisinya. Bagaimana tidak, apapun yang kulakukan, dimanapun, hanya dialah yang
terbesit dalam ingatanku.
Senyuman yang
seringkali ia lempar padaku membuatku ingin terus mengingatnya. Menyimpannya
jauh-jauh dalam ingatanku. Membayangkannya pun merupakan hal terindah yang
selama ini aku rasakan.
Meskipun dia
bukan yang pertama dalam hidupku, tapi aku yakin dia yang terbaik. Meskipun dia
bukan bintang yang dilangit, tapi aku yakin dia bintang dihatiku.
Seperti sore
ini, Resza mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Dia bilang tempat itu adalah
salah satu tempat yang pastinya nggak akan mengecewakanku. Bahkan dia begitu
yakin kalau aku akan menyukai tempat itu. Dan ternnyata…
Ini adalah
tempat dimana aku biasa duduk. Disebuah bukit kecil yang nggak asing lagi buat
aku.
“Ini??”
tanyaku yang masih heran mengapa Resza mengajakku ke tempat dimana itu memang
tempat favoritku.
“Iya. Disini. Ini tempat favoritku”
Aku hanya
tersenyum, mengangguk, karena aku masih benar-benar heran.
Sore ini aku
lihat langit mulai meredup. Mentari juga semakin hilang ditelan bebukitan. 1
hal yang membuat senja ini lebih indah dari biasanya, Resza.
Biasanya aku
hanya duduk termenung dibangku ini, sendiri. Tanpa apapun dan siapapun. Paling
hanya Yessi, sahabatku yang memang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi
kali ini, aku duduk dan bersandar dalam pangkuan Resza. Pelukannya yang
membalut tubuhku juga membuatku ingin waktu sejenak berhenti.
“Em kamu tau
nggak sayang?” tanya Resza yang kini memandang langit yang mulai jingga.
“Apa?”
“Senja itu
indah”
“Kenapa?”
tanyaku yang kini juga mulai melihat langit, sama seperti Resza.
“Setelah seharian mentari menemani
bumi, dia akan pergi”
“Kenapa
pergi?” tanyaku yang kini memandang wajah kekasihku itu.
“Kejam
bukan?”
“Iya. Kenapa
dia pergi?”
“Karena dia
harus pergi, karena itulah takdir yang Tuhan telah berikan.”
“Lalu Senja?”
“tentu saja,
mentari begitu menyayangi bumi. Dia tak ingin pergi begitu saja. Sebelum dia pergi,
dia akan memberikan senja untuk bumi. Sebuah keadaaan yang dia harap mampu
menjadi sebuah ucapan selamat tinggal untuk bumi sebelum akhirnya dia akan
benar-benar pergi dan bumi akan gelap.”
“begitukah?
Aku nggak mau hidup tanpa mentari. Aku nggak mau mentari pergi”
“Memang kamu
harus begitu. Ketahuilah itu takdir. Mentari harus pergi Navila. Dan kamu..”
“aku kenapa?”
“Dan kamu
harus tetap bertahan. Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu, meskipun mentari
pergi”
“Apa dia
nggak akan kembali?”
“Nggak.
Karena dia memang telah abadi, abadi dalam hidupmu.”
Perkataan
Resza benar-benar membuatku harus menahan pintalan air yang kini mulai menetes.
“Aduh. Kok malah
nangis sih? Jangan nangis dong sayang” kata Resza sambil perlahan mengusap air
mataku.
“Abis kamu cerita kayak gituan sih”
“hehe. Maaf
deh sayang. Pengen aja nasehatin kamu. Udah jangan nangis.”
“Aku jadi inget ayah”
“Ayah kamu
akan baik-baik saja, kamu harus yakin itu.”
Aku hanya
diam dan terus mengusap pipiku yang kini semakin basah.
“Udah. Yaudah
deh gini. Kita maen tebakan aja yuk” ajak Resza untuk menghentikan tangisanku.
“kalau
kalah?” tanyaku yang masih terisak.
“Kalau kalah
dihukum”
“Hukumannya
apa?”
“Apa ya??
Hukumannya cium deh” kata Resza sambil tertawa.
“Itu sih mau kamu..”
“Berani
enggak?”
“Males”
“Ahaaaa
penakut..” goda Resza.
“Siapa
bilang? Oke berani. Kalau kamu menang kamu boleh cium aku, tapi kalau kamu
kalah kamu harus gendong aku sampe rumah. Gimana?”
“Boleh” tanya
Resza yang sok menantang itu.
“Yaudah kamu
yang kasih tebakan, entar aku yang jawab” ucapku.
“Oke. Gini.
Aku, aku apa yang nggak pengen aku simpen?”
“Ah apaan
tuh.” Kataku sambil memutar-mutar otak untuk menjawab tebakan itu.
“Bisa enggak?
Katanya pinter.. kemaren aja ranking 1 masak sih nggak bisa jawab”
“Ih apaan?”
“Bisa enggak.
Siap-siap dicim ya..” goda Resza.
“AKUtansi?”
“Apaan tuh? Bukan. Bisa enggak?
Siap-siap cium deh”
“enak aja.
Bentar aku mikir”
“Ah lama.
Bisa enggak?? Udah deh nyerah aja. Terus siap-siap buat dicium orang paling
ganteng ya.”
“Ih PD
banget. Oke deh nyerah. Apaan coba?”
“Bener?
Jangan-jangan cuma pura-pura nggak bisa biar dapet ciuman dari aku lagii…” kata
Resza senyum-senyum meledekku.
“Enak aja.
Udah cepetan.”
“jawabannya, AKUin kalo aku sayang
kamu, hahahah”
“Apaan tu.
Nggak berbobot banget!” protesku.
“Udah sini.
Tutup mata. Kan mau ciuman..” goda Resza kembali.
“Siapa yang
mau ciuman? Orang kamu curang.”
“Curang? Kamu
aja yang nggak pinter.”
“ih. Kamu
curang!”
“Udah nggak
usah brisik. Sini..”
“NGGAK MAU..”
“Tu kan kamu
yang curang. Tadi perjanjiannya kalau kamu kalah kan di cium, sini..”
“NGGAK MAU.
NGGAK MAU YA NGGAK MAU. Weeeekk” kataku sambil menjulurkan lidah pada Resza.
“Wah berani
ya…” kata Resza yang kemudian menarikku dan memelukku begitu erat.
“Lepasin”
kataku ketika Resza malah semakin erat memelukku.
“NGGAK MAU..”
“Ih.. aku
triak ni..”
“Triak aja. Paling-paling ntar dikira
orang gila.. hahaha”
“Ih. Entar
aku aduin orang-orang kalau kamu mau macem-macem” candaku.
“Ya entar aku
bilang kalau kamu punya hutang sama aku.”
“Ih utang
apa?”
“Utang cium”
kata Resza sambil tersenyum padaku.
Seketika kami
terdiam. Saling memandang. Ada sorot mata dari kami yang menandakan kami tak
ingin kehilangan satu sama lain. Kami saling bertatapan, berpelukan. Menikmati
senja yang memang kami tunggu-tunggu kehadirannya setiap sore disini. Hidup
kami terasa lebih lengkap dengan keadaan ini, dan kami berjanji bahwa kami akan
saling menjaga, menyayangi, sampai nanti.
_--*--_
Sorot mentari mulai
menembus jendela kamarku. Membuat mataku yang semalaman terpejam kini harus
mulai terbuka. Katup mata yang begitu sulit kubuka terasa semakin berat.
“Avi ayo bangun..”
triak ibuku yang kedengarannya menggedor pintu kamar. Singkat cerita, Avi
adalah nama panggilan dari ayah sewaktu kebersamaan kami masih harmonis. Dan
itu berlanjut sampai hari ini, dan mungkin akan seterusnya meskipun tak lagi
ada ayah disini.
“Iya buk.. bentar”
jawabku yang masih belum beranjak dari tempat tidur ber-
Spray pink itu.
“Bangun, mandi,
sarapan. Cepetan entar telat lagi kayak kemaren”
Aku langsung
beranjak meskipun badanku masih begitu berat. Mengingat pagi
ini aku harus mampir kerumah Resza untuk menjemputnya karena
motornya lagi-lagi harus masuk bengkel.
“Buk, aku
nggak usah sarapan ya. Nanti aku sarapan disekolah aja. Aku lagi buru-buru.”
Kataku sambil cepat-cepat meminum susu untuk sekedar mengganjal perutku.
“Buru-buru
kenapa? Ini kan masih pagi. Tumben-tumbenan” kata ibu yang sepertinya tak
mengizinkanku untuk tidak sarapan.
“Ada urusan
buk”
“Sarapan dulu
sini.. jangan bandel kamu”
“Aduh buk,
please, dada. Asalamualaikum” triakku yang kemudian lari dengan sepeda motorku.
Bolak-balik
aku melihat jam tangan ketika lampu merah mulai menahanku. Aduuh pasti Resza nungguin ni!! Gerutuku dalam hati yang aku rasa
lampu apill tak kunjung hijau.
“Kemana aja
sih..??” tanya Resza yang memang kelihatannya udah nunggu dari tadi.
“Maaf sayang,
aku tadi kesiangan.”
“Hemm…
lagi-lagi”
0 komentar:
Posting Komentar