BELAHAN JIWA

Senin, 19 November 2012

Bagian 7
BELAHAN JIWA
          Saat ini aku rasa hidupku begitu indah. Tak ada 1 pun yang kurang yang masih aku inginkan, kecuali permohonan untuk tetap seperti ini. Aku tak ingin keadaan berubah sedikitpun. Ya Tuhan, aku begitu bersyukur atas semua yang engkau berikan kepadaku saat ini. Semua kebahagiaan ini datang disaat aku tak pernah memikirkannya sebelum itu. Datang tiba-tiba tanpa aku tunggu kehadirannya.
          Tuhan, yang kutahu saat ini, aku bahagia. Dan yang kutahu saat ini Engkau memang adil. Kehidupan yang selama ini aku jalani bukanlah kehidupan yang sempurna yang sebagian orang rasakan. Tanpa kehadiran sesosok pria yang seharusnya kupanggil ayah, bersyukur aku masih bisa tersenyum. Ketika aku mulai menangis dan bertanya padamu, dimana ayahku, kemana dia, apa dia lupa padaku, saat itu pula kau hadirkan senyuman seorang wanita yang biasa kupanggil ibu. Sesosok wanita tegar yang selama ini mengasihiku.
          Tuhan, terimakasih. Seorang ibu yang kau berikan padaku melebihi ribuan ayah yang mungkin bisa saja aku miliki.
          Meskipun begitu,
          Ayah, aku bahagia dilahirkan sebagai putri ayah.
          Ibu, aku sangat bahagia dilahirkan sebagai putri ibu.
          Satu hal yang membuat hidupku kini bisa lebih indah lagi. Kehadiran Resza yang memang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, telah mampu membuatku lebih memaknai hidupku. Kehadirannyalah yang mampu membuatku lebih mengerti apa itu cinta. Di usiaku yang ke 16 ini, aku harap aku sudah menemukan cinta sejatiku, Resza.
          Cinta sejati. Itulah kata-kata yang selalu terpanjat dalam doaku setiap aku bersujud di hadapan-Mu. Saat ini tak ada hal yang lebih bahagia yang bisa kudapatkan selain dari seorang Resza. Kakak kelasku yang satu ini memang benar-benar ISTIMEWA.
          Sejak hubungan kami resmi “berpacaran” sejak 1 bulan yang lalu, tak ada waktu yang kulewatkan tanpanya. Entah itu bersamanya atau tidak, yang jelas difikiranku hanya ada nama Resza yang mengisinya. Bagaimana tidak, apapun  yang kulakukan, dimanapun, hanya dialah yang terbesit dalam ingatanku.
          Senyuman yang seringkali ia lempar padaku membuatku ingin terus mengingatnya. Menyimpannya jauh-jauh dalam ingatanku. Membayangkannya pun merupakan hal terindah yang selama ini aku rasakan.
          Meskipun dia bukan yang pertama dalam hidupku, tapi aku yakin dia yang terbaik. Meskipun dia bukan bintang yang dilangit, tapi aku yakin dia bintang dihatiku.
          Seperti sore ini, Resza mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Dia bilang tempat itu adalah salah satu tempat yang pastinya nggak akan mengecewakanku. Bahkan dia begitu yakin kalau aku akan menyukai tempat itu. Dan ternnyata…
          Ini adalah tempat dimana aku biasa duduk. Disebuah bukit kecil yang nggak asing lagi buat aku.
          “Ini??” tanyaku yang masih heran mengapa Resza mengajakku ke tempat dimana itu memang tempat favoritku.
          “Iya. Disini. Ini tempat favoritku”
          Aku hanya tersenyum, mengangguk, karena aku masih benar-benar heran.
          Sore ini aku lihat langit mulai meredup. Mentari juga semakin hilang ditelan bebukitan. 1 hal yang membuat senja ini lebih indah dari biasanya, Resza.
          Biasanya aku hanya duduk termenung dibangku ini, sendiri. Tanpa apapun dan siapapun. Paling hanya Yessi, sahabatku yang memang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi kali ini, aku duduk dan bersandar dalam pangkuan Resza. Pelukannya yang membalut tubuhku juga membuatku ingin waktu sejenak berhenti.
          “Em kamu tau nggak sayang?” tanya Resza yang kini memandang langit yang mulai jingga.
          “Apa?”
          “Senja itu indah”
          “Kenapa?” tanyaku yang kini juga mulai melihat langit, sama seperti Resza.
          “Setelah seharian mentari menemani bumi, dia akan pergi”
          “Kenapa pergi?” tanyaku yang kini memandang wajah kekasihku itu.
          “Kejam bukan?”
          “Iya. Kenapa dia pergi?”
          “Karena dia harus pergi, karena itulah takdir yang Tuhan telah berikan.”
          “Lalu Senja?”
          “tentu saja, mentari begitu menyayangi bumi. Dia tak ingin pergi begitu saja. Sebelum dia pergi, dia akan memberikan senja untuk bumi. Sebuah keadaaan yang dia harap mampu menjadi sebuah ucapan selamat tinggal untuk bumi sebelum akhirnya dia akan benar-benar pergi dan bumi akan gelap.”
          “begitukah? Aku nggak mau hidup tanpa mentari. Aku nggak mau mentari pergi”
          “Memang kamu harus begitu. Ketahuilah itu takdir. Mentari harus pergi Navila. Dan kamu..”
          “aku kenapa?”
          “Dan kamu harus tetap bertahan. Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu, meskipun mentari pergi”
          “Apa dia nggak akan kembali?”
          “Nggak. Karena dia memang telah abadi, abadi dalam hidupmu.”
          Perkataan Resza benar-benar membuatku harus menahan pintalan air yang kini mulai menetes.
          “Aduh. Kok malah nangis sih? Jangan nangis dong sayang” kata Resza sambil perlahan mengusap air mataku.
          “Abis kamu cerita kayak gituan sih”
          “hehe. Maaf deh sayang. Pengen aja nasehatin kamu. Udah jangan nangis.”
          “Aku jadi inget ayah”
          “Ayah kamu akan baik-baik saja, kamu harus yakin itu.”
          Aku hanya diam dan terus mengusap pipiku yang kini semakin basah.
          “Udah. Yaudah deh gini. Kita maen tebakan aja yuk” ajak Resza untuk menghentikan tangisanku.
          “kalau kalah?” tanyaku yang masih terisak.
          “Kalau kalah dihukum”
          “Hukumannya apa?”
          “Apa ya?? Hukumannya cium deh” kata Resza sambil tertawa.
          “Itu sih mau kamu..”
          “Berani enggak?”
          “Males”
          “Ahaaaa penakut..” goda Resza.
          “Siapa bilang? Oke berani. Kalau kamu menang kamu boleh cium aku, tapi kalau kamu kalah kamu harus gendong aku sampe rumah. Gimana?”
          “Boleh” tanya Resza yang sok menantang itu.
          “Yaudah kamu yang kasih tebakan, entar aku yang jawab” ucapku.
          “Oke. Gini. Aku, aku apa yang nggak pengen aku simpen?”
          “Ah apaan tuh.” Kataku sambil memutar-mutar otak untuk menjawab tebakan itu.
          “Bisa enggak? Katanya pinter.. kemaren aja ranking 1 masak sih nggak bisa jawab”
          “Ih apaan?”
          “Bisa enggak. Siap-siap dicim ya..” goda Resza.
          “AKUtansi?”
          “Apaan tuh? Bukan. Bisa enggak? Siap-siap cium deh”
          “enak aja. Bentar aku mikir”
          “Ah lama. Bisa enggak?? Udah deh nyerah aja. Terus siap-siap buat dicium orang paling ganteng ya.”
          “Ih PD banget. Oke deh nyerah. Apaan coba?”
          “Bener? Jangan-jangan cuma pura-pura nggak bisa biar dapet ciuman dari aku lagii…” kata Resza senyum-senyum meledekku.
          “Enak aja. Udah cepetan.”
          “jawabannya, AKUin kalo aku sayang kamu, hahahah”
          “Apaan tu. Nggak berbobot banget!” protesku.
          “Udah sini. Tutup mata. Kan mau ciuman..” goda Resza kembali.
          “Siapa yang mau ciuman? Orang kamu curang.”
          “Curang? Kamu aja yang nggak pinter.”
          “ih. Kamu curang!”
          “Udah nggak usah brisik. Sini..”
          “NGGAK MAU..”
          “Tu kan kamu yang curang. Tadi perjanjiannya kalau kamu kalah kan di cium, sini..”
          “NGGAK MAU. NGGAK MAU YA NGGAK MAU. Weeeekk” kataku sambil menjulurkan lidah pada Resza.
          “Wah berani ya…” kata Resza yang kemudian menarikku dan memelukku begitu erat.
          “Lepasin” kataku ketika Resza malah semakin erat memelukku.
          “NGGAK MAU..”
          “Ih.. aku triak ni..”
          “Triak aja. Paling-paling ntar dikira orang gila.. hahaha”
          “Ih. Entar aku aduin orang-orang kalau kamu mau macem-macem” candaku.
          “Ya entar aku bilang kalau kamu punya hutang sama aku.”
          “Ih utang apa?”
          “Utang cium” kata Resza sambil tersenyum padaku.
          Seketika kami terdiam. Saling memandang. Ada sorot mata dari kami yang menandakan kami tak ingin kehilangan satu sama lain. Kami saling bertatapan, berpelukan. Menikmati senja yang memang kami tunggu-tunggu kehadirannya setiap sore disini. Hidup kami terasa lebih lengkap dengan keadaan ini, dan kami berjanji bahwa kami akan saling menjaga, menyayangi, sampai nanti.
­­­_--*--_
Sorot mentari mulai menembus jendela kamarku. Membuat mataku yang semalaman terpejam kini harus mulai terbuka. Katup mata yang begitu sulit kubuka terasa semakin berat.
“Avi ayo bangun..” triak ibuku yang kedengarannya menggedor pintu kamar. Singkat cerita, Avi adalah nama panggilan dari ayah sewaktu kebersamaan kami masih harmonis. Dan itu berlanjut sampai hari ini, dan mungkin akan seterusnya meskipun tak lagi ada ayah disini.
“Iya buk.. bentar” jawabku yang masih belum beranjak dari tempat tidur ber-
Spray pink itu.
“Bangun, mandi, sarapan. Cepetan entar telat lagi kayak kemaren”
Aku langsung beranjak meskipun badanku masih begitu berat. Mengingat pagi
ini aku harus mampir kerumah Resza untuk menjemputnya karena motornya lagi-lagi harus masuk bengkel.
          “Buk, aku nggak usah sarapan ya. Nanti aku sarapan disekolah aja. Aku lagi buru-buru.” Kataku sambil cepat-cepat meminum susu untuk sekedar mengganjal perutku.
          “Buru-buru kenapa? Ini kan masih pagi. Tumben-tumbenan” kata ibu yang sepertinya tak mengizinkanku untuk tidak sarapan.
          “Ada urusan buk”
          “Sarapan dulu sini.. jangan bandel kamu”
          “Aduh buk, please, dada. Asalamualaikum” triakku yang kemudian lari dengan sepeda motorku.
          Bolak-balik aku melihat jam tangan ketika lampu merah mulai menahanku. Aduuh pasti Resza nungguin ni!! Gerutuku dalam hati yang aku rasa lampu apill tak kunjung hijau.
          “Kemana aja sih..??” tanya Resza yang memang kelihatannya udah nunggu dari tadi.
          “Maaf sayang, aku tadi kesiangan.”
          “Hemm… lagi-lagi”

0 komentar:

Posting Komentar